TUGAS MAKALAH
MENELADANI SIFAT RASUL
DI SUSUN OLEH :
M.Abdulloh
1201010004
1201010004
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PUWOKERTO
2014
MENELADANI PERI HIDUP
RASÛLULLÂH SEUTUHNYA
Muhammad Adalah
Teladan hidup
Setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, umat
Islam memperingatinya sebagai Hari Maulid Nabi, hari kelahiran Rasûlullâh
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Berbagai acara pun digelar,
menjelang dan sesudah hari itu. Yang paling lazim adalah dengan tabligh akbar
yang menampilkan sejumlah penceramah — dai, ulama, dan ustadz. Berbagai sisi
kehidupan Rasûlullâh dikupas. Dari sejak lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa
hingga wafatnya. Intinya, mengemukakan keteladanan Rasûlullâh yang dikontekskan
dengan kondisi masyarakat Indonesia kini. Diharapkan, umat Islam dapat
mencontoh keteladanan beliau. Pertanyaannya, seberapa jauh peringatan yang
diselenggarakan setiap tahun itu memberi pengaruh positif pada perilaku dan
akhlak masyarakat. Faktanya, angka korupsi di negeri ini tertinggi di dunia,
kejahatan dan tindak kriminalitas pun tidak surut, dan kemaksiatan juga semakin
merajalela dan terang-terangan.
Umat Islam selayaknya gembira ketika sampai
pada bulan Rabi’ul Awwal karena pada bulan inilah Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam lahir ke dunia menjadi Utusan Allâh yang terakhir.Tidak
ada lagi Nabi setelahnya. Karena itu, bulan Rabi’ul Awwal merupakan
momentum umat Islam untuk mempelajari dan menggali kemudian menghidupkan
sunnah-sunnah nabawiyyah dalam berbagai praktik kehidupan sehari-hari. Tentu
yang paling penting bagi umat Islam—pada momentum kelahiran Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam ini — berupaya untuk semakin mengenal dan meneladani Nabi
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam Makna memperingati Maulid Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam bukan sekedar seremonial keagamaan semata, namun
hendaklah ditujukan kearah intropeksi total diri sendiri, guna meningkatkan
kualitas hidup beragama, beribadah, dan bermasyarakat.
Sejarah
Peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam pertama kali diselenggarakan oleh Muzaffar ibn Baktati,
raja Mesir yang terkenal arif dan bijaksana. Sedangkan pencetus ide peringatan
adalah panglima perangnya, Shalahuddin Yussuf Al-Ayubi (abad ke-6 M), sosok
pemimpin pasukan Islam yang pernah mengalahkan pasukan Kristen dalam Perang
Salib. Shalahuddin juga merupakan panglima Islam di masa Khalifah Mu’iz
Liddinillâh dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir (berkuasa 365 H/975 M).
Seperti disebutkan dalam Ensiklopedia Islam untuk Pelajar, ia kemudian juga
gigih menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi dari tahun ke tahun di masanya.
Mengapa Shalahuddin merasa perlu mengadakan peringatan Maulid? Sang panglima
berpendapat, ketika Perang Salib terjadi, motivasi umat Islam sangat menurun,
sementara motivasi pasukan Salib (Kristen) meningkat. Hal ini tentu tidak
kondusif bagi pasukan Islam, sehingga Shalahuddin merasa perlu membangkitkan
kembali semangat umat Islam sebagaimana umat Kristen dengan perayaan Natal-nya.
Maka, sang panglima ini kemudian mengadakan peringatan hari lahir Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam yang kemudian dikenal dengan sebutan Maulid Nabi. Bila
dalam peringatan Natal kaum Kristen dikisahkan tentang keagungan Yesus, maka
dalam peringatan Maulid, Shalahuddin menggemakan kisah perang yang dilakukan
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Tapi belakangan, yang dibacakan pada
acara peringatan Maulid tersebut berubah, bukan lagi kisah perang, melainkan
kisah lahir dan hidup sang Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kisah
perang tampaknya dianggap tak lagi relevan.
Walaupun peringatan Maulid Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam masih dipertanyakan oleh beberapa kalangan dan dinyatakan
sebagai bid’ah, peringatan Maulid Nabi tampaknya masih perlu dilakukan. Di
tengah perkembangan globalisasi saat ini, yang tak jarang memperlemah semangat
keimanan umat Islam, maka peringatan Maulid Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menjadi sangat penting. Selain dimaksudkan untuk meneladani akhlak
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, peringatan Maulid juga untuk
memberikan motivasi kepada umat tentang pentingnya perang yang lebih besar,
yakni perang melawan kemungkaran dan kemaksiatan. Krisis berkepanjangan bangsa
Indonesia saat ini, antara lain disebabkan merajalelanya kemaksiatan,
kemungkaran dan tidak adanya penegakan nilai-nilai moral. Hawa nafsu lebih
mendominasi kehidupan umat manusia saat ini ketimbang moral.
Memperingati Maulid Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam bermakna meneladani jejak langkah sunnah Rasul yang telah
diwariskannya. Beliau adalah teladan hidup yang menyemai banyak kebaikan dalam
rangkaian keindahan hidup. Keteladanan yang akan senantiasa layak diikuti
setiap generasi dari semua generasi sekarang maupun yang akan datang.
Perjalanan sejarah hidup beliau melalui berbagai fase yang penuh kemandirian
dan perjuangan. Semua perjalanannya juga dihiasi dengan keluhuran sikap dan
ketinggian budi pekerti. Rasûlullâh yang lahir sebagai seorang yatim kemudian
mampu menunjukkan berbagai hal tersebut di atas semenjak masa kanak-kanaknya.
Dalam diri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam terkumpul sifat-sifat utama yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur,
tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak
mudah mabuk pujian. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha
melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa
dalam berusaha. Oleh sebab itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah
tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk bagi para sufi. Hal ini sesuai
dengan firman Alah SWT dalam al-Qur’an surat al-Ahzâb [33]: 21, “Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi
orang yang mengharap ( rahmat ) Allâh dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak
menyebut Alah.” (QS al-Ahzâb [33]: 21)
Menurut berbagai riwayat, pada masa remajanya,
Muhammad yang tinggal dengan pamannya, melakukan pekerjaan yang biasa
dikerjakan oleh mereka yang seusianya. Beliau memulai mengasah mentalitas
wirausahanya dengan menjadi penggembala untuk orang-orang Mekkah di masa
kanak-kanaknya. Dengan menjadi penggembala beliau mendapatkan upah, guna
meringankan sedikit beban yang ditanggung oleh pamannya. Beliau ingin
berpenghasilan dan bisa mandiri. Tidak hendak berpangku tangan hanya sekedar
bermain saja. Sebagai anak muda yang jujur dan punya harga diri, beliau sama
sekali tidak suka berlama-lama menjadi tanggungan pamannya yang memiliki beban
keluarga besar.[1]
Sebuah perkerjaan yang kemudian mengantarkan
beliau untuk lebih banyak merenung dan berpikir tentang kondisi kaumnya.
Kaumnya yang saat itu terejerumus dalam berbagai bentuk kejahilliyahan,
menyembah berhala, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam
kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya tidak menarik minat Muhammad remaja
sedikitpun. Jiwa bersihnya yang selalu mendambakan kesempurnaan menyebabkan
beliau menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi kesenangan utama penduduk Mekkah.
Beliau mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi
kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini
dibuktikan dengan julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada
dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa kanak-kanak gejala kesempurnaan,
kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekkah semua
memanggilnya al-Amîn (yang dapat dipercaya).[2]
Bulan Rabi’ul Awal merupakan bulan
ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Hari-hari pada bulan ini banyak
digunakan untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya. Beliau adalah manusia
pilihan Allâh SWT, dialah manusia mulia yang telah menunaikan amanah,
menyampaikan risalah, membina umat, dan membebaskan manusia dari penyembahan
kepada berhala menuju pada penyembahan kepada Allâh SWT.
Sungguh ironis memang. Bulan ini kita kembali
memasuki bulan Rabi’ul Awwal, bulan yang di dalamnya dilahirkan seorang manusia
pilihan untuk menyempurnakan risalah yang telah dibawa sejak nabi Adam AS.
Rasanya tepat bagi kita bermuhasabah sejenak, kembali merenungi sosok agung
tersebut agar kita dapat kembali kejalan yang benar. Wujud cinta kita kepada
Rasûlullâh selalu kita buktikan dengan mengikuti perbuatan-perbuatannya. Rasul
menganjurkan berbuat baik kepada semua orang, dengan segera kita
melaksanakannya. Ketika Rasul menyuruh kita sopan santun, jujur, adil, bersikap
pemaaf, maka dengan antusias kita menyambut dan melaksanakan perintah itu.
Sehingga dalam kadar tertentu kita telah menjadikan Rasûlullâh sebagai figur
yang harus diteladani dalam segala komponen kehidupan. Bahkan Rasûlullâh adalah
ushwatun hasanah atau teladan yang baik.[3]
Rethinking Maulid Maulid Nabi
Meskipun Maulid Nabi diperingati setiap tahun,
mengapa perilaku masyarakat tetap tidak berubah. Salah satu penyebabnya adalah
adanya tarik menarik antara kebaikan dan keburukan. Di negeri ini, rupanya
keburukan lebih menarik daripada kebaikan. Apalagi keburukan dikemas dalam
bentuk yang lebih menarik dan indah, sehingga kebaikan pun menjadi terpendam.
Ini merupakan tantangan bagi para penganjur kebaikan, baik individu, kelompok
maupun lembaga atau institusi. Yakni, bagaimana mereka bisa menyampaikan kebaikan
dengan cara yang efektif dan menarik. Para penganjur keburukan kini jumlahnya
semakin meningkat. Mereka juga sangat cerdik mengemas keburukan itu dalam
berbagai bentuk, termasuk lewat dunia hiburan berkedok seni. Mereka mengemas
pornografi dengan dalih ekspresi seni (baca: seperti seni erotis zaman
jahiliyah). Kebanyakan umat Islam sebenarnya sudah tahu bahwa Rasûlullâh
itu adalah teladan yang baik. Masalahnya, lanjut Quraish Shihab, kemauan
meneladani itu terhalang oleh nafsu.[4]
Pada masa sekarang ini yang paling menonjol
untuk dicontoh dari Rasûlullâh adalah sifat jujur atau amanah. Dua sifat ini
sudah banyak hilang dan akhirnya menciptakan kemungkaran-kemungkaran yang
berakibat kepada kesengsaraan masyarakat. Krisis moral dan akhlak ditambah
dengan tidak adanya keteladanan para pemimpin (baca: karena mereka juga cacat
moral dan akhlak). Bagaimana mungkin pemimpin akan mengubah masyarakat kepada
keadilan dan kesejahteraan jika pemimpinnya tidak memberikan teladan. Krisis
ekonomi yang berkepanjangan sebenarnya adalah akibat pemimpin-pemimpin yang
tidak jujur dan tidak amanah. Seorang pemimpin seharusnya meneladai empat sifat
Rasûlullâh: bisa dipercaya, patut menerima kepercayaan, bisa dan mampu
menyampaikan kebenaran, serta bijaksana dan cerdas. Sifat-sifat inilah yang
harus ditiru umat Islam, terutama mereka yang saat ini diamanati berkuasa di
negeri ini.[5]
Umat Islam sekarang ini memahami pribadi
Rasûlullâh dengan cara yang sangat formal dan normatif. Nabi Muhammad
ditampilkan hanya sebatas pada ceramah-ceramah, khutbah, dan sebagainya, tapi
tidak dikonstruksikan sebagai bagian dari diri mereka (umat Islam). Yang ada
hanya transfer ilmu dan pengetahuan bukan nilai-nilai yang harus ditanamkan
dalam diri umat. Sebagai contoh biasanya para penceramah peringatan Maulid
memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok di langit, lebih sebagai pahlawan
dan wakil dari Tuhan. Nabi tidak diajarkan dengan pendekatan dengan
menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri nabi sehingga nabi
adalah sosok yang nyata dan dapat dicontoh. Seperti telah Allâh firmankan: “Katakanlah:
sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat pada
Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110). Sehingga wajar jika sampai saat ini
kegiatan peringatan Maulid Nabi hanya sebatas seremonial dan kurang membekas
pada umat Islam.
Ada lagi sebagian dari umat Islam mencontoh dan
meneladani Nabi hanya pada hal-hal yang menguntungkan diri mereka pribadi.
Misalnya mencontoh beristri lebih dari satu, tetapi mereka adalah orang yang
tidak mencontoh sifat adil pada diri Rasûlullâh. Menuntut orang lain untuk
hidup sederhana tetapi dirinya sendiri hidup foya-foya dan hura-hura.
Keteladanan Rasûlullâh tidak seharusnya diambil sebagian-sebagian. Seluruh
kehidupan Rasûlullâh harus kita jadikan teladan, mulai dari bagaimana beliau
bermasyarakat, menjadi pemimpin, komandan perang, pedagang, pendidik, sebagai
suami, ayah, sebagai teman, dan seterusnya. Itulah inti dari peringatan Maulid
Nabi.
Namun amat disayangkan, rasa cinta kepada
Rasûlullâh itu sedikit demi sedikit mulai memudar sesuai dengan berkembangnya
peradaban. Sangat ironis memang, ternyata generasi muda kita lebih paham dan
mengikuti “sabda-sabda” yang mereka anggap sebagai figur “teladan”. Tak bisa
menutup mata, bahwa remaja kita mulai gandrung dengan tokoh-tokoh artis yang
mereka anggap mampu memberi inspirasi dalam hidupnya. Bahkan dalam tataran
tertentu mampu menumbuhkan histeria. Bukan saja kaum muda yang sudah
mematut-matut diri menyamakan dengan idola pujaannya. Namun, tanpa disadari
kaum tua pun telah melakukan hal yang sama, meski dalam unsur yang berbeda.
Dalam diri kita mulai merayap pemikiran dan perasaan yang bertolak belakang
dengan sikap Rasûlullâh sebagai teladan kita. Betapa naifnya kita mengaku-ngaku
mencintai dan meneladani Rasûlullâh sementara kita sendiri tak pernah mengikuti
perilakunya. Cinta kita, cinta palsu belaka. Di satu sisi kita senantiasa
bersholawat kepadanya, tapi pada kesempatan yang lain kita malah melakukan
perbuatan yang dilarangnya, yang jelas bertentangan dengan perilaku mulianya.[6]
Satu hal yang bisa kita dapati bila kita
mencintai dan meneladani Rasûlullâh dalam segala komponen kehidupan, yang tak
akan pernah kita jumpai dalam mencintai dan meneladani selain Rasûlullâh, yakni
Rasûlullâh akan memberi “bonus” berupa syafaat kepada kita di hari penghisaban,
bila kita mengikuti apa-apa yang diperintahkannya dan menghindari apa yang
dilarangnya. Tak perlu menipu diri dengan menganggap nanti akan mendapat syafaat,
sementara kita tak pernah meledani perbuatan Rasûlullâh.
Cara Meneladani Rasûlullâh saw
Seseorang yang mempunyai idola tentu saja
prilakunya tidak jauh dari sosok yang diidolakan. Berusaha menyukai hal-hal
yang disukai idola, mengoleksi atribut-atribut yang ada hubungannya dengan
idola, bahkan berusaha mati-matian berpola hidup seperti sang idola.
Begitu pula ketika kita mengaku mengidolakan Rasûlullâhrang yang mempunyai idola tentu saja
prilakunya tidak jauh dari sosok yang diidolakan. Berusaha menyukai hal-hal
yang disukai idola, mengoleksi atribut-atribut yang ada hubungannya dengan
idola, bahkan berusaha mati-matian berpola hidup seperti sang idola.
Begitu pula ketika kita mengaku mengidolakan Rasûlullâh. Konsekuensinya tentu
saja kita harus menghidupkan sunnah-sunnahnya baik berupa perbuatan, perkataan maupun
penetapan beliau. Jangan mengaku mengidolakan Rasûlullâh jika membaca al-Qur’an
saja jarang-jarang. Sholat wajib masih sering bolong. Bermuka manis
terhadap sesama terasa sulit. Pelit untuk bersedekah. Gemar berbohong. Gunjing
sana-sini. Jam karet dan ingkar janji jadi kebiasaan. Semua hal tersebut tentu
saja kontradiksi dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasûlullâh.
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“31. Katakanlah: Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allâh, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allâh mencintaimu
dan mengampuni dosa-dosamu, Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Ali ‘Imran [3]: 31).
Imam at-Thabarî, ketika menafsirkan ayat ini
berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap
orang yang mengaku mencintai Allâh, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan
(sunnah) Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang
yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau
mengikuti syariat dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaannya. Berakhlaklah seperti al-Qur’an, karena ‘Aisyah radhiyallâhu
‘anha. ketika ditanya bagaimanakah akhlak nabi, beliau menjawab Sungguh
akhlak Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an. Barang
siapa mengamalkan al-Qur’an dan sunnah, maka sungguh ia telah meneladani
Rasûlullâh dengan sebenar-benarnya.[7]
Meneladani Kepemimpinan Rasûlullâh
Urusan kepemimpinan dalam Islam merupakan salah
satu kewajiban agama diantara kewajiban lainnya, sebab agama tidak mungkin
tegak tanpa pemimpin. Hal ini erat kaitannya dengan fitrah manusia, dimana
setiap manusia itu dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin. Seperti sabda
Rasulullah, “setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawabannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hanya tingkatan pemimpin
itu yang berbeda, ada yang memimpin dalam lingkup kecil seperti lingkup
keluarga, sampai lingkup yang paling besar seperti menjadi pemimpin suatu
negara. Namun di level mana pun seorang pemimpin pasti ingin menjadi pemimpin
yang sukses dan ditaati. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu
membawa perubahan yang lebih baik pada yang dipimpinnya.[8]
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh
pangkat ataupun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari
dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin,
baik bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitanya, maupun lingkungan
masyarakat luas/negara. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan
lebih merupakan hasil proses dari perubahan karakter atau transformasi internal
dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan
sebuah kelahiran dari proses panjang dalam diri seseorang. Ketika seseorang
menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi perdamaian dalam diri (inner
peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan
tindakannya mulai memberikan pengaruh pada lingkungannya, dan ketika
keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, maka pada saat itulah
seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati bukan sekedar gelar
atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan
berkembang dari dalam diri seseorang.[9]
Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang
selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, karena paling banyak diamati
sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami. Fenomena kepemimpinan di
negara Indonesia juga telah membuktikan bagaimana kepemimpinan telah
berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam
kehidupan apapun, kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya
organisasi dan kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, jika pemimpin tidak pernah
menggunakan nilai-nilai prophetic intellegence dalam kepemimpinannya
maka jangan pernah berharap roda organisasi akan berjalan dengan baik maka
kalau sudah meninggalkan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan Rasul tentunya
suatu organisasi akan tenggelam dan selanjutnya tinggal menunggu saat-saat
kematiannya. Kepemimpinan sebagai salah satu penentu arah dan tujuan organisasi
harus mampu melakukan perubahan-perubahan konstruktif. Pemimpin yang tidak
dapat mengantisipasi dunia yang sedang berubah ini, atau setidaknya tidak
memberikan respon, besar kemungkinan akan memasukkan organisasinya dalam
situasi stagnasi dan akhirnya mengalami keruntuhan.[10]
Ada dua hal penting dalam prinsip-prinsip
kepemimpinan:
- Bertaqwa kepada Allâh
Kepemimpinan yang dilandasi dengan taqwa akan
melahirkan suatu sistem masyarakat yang tidak mengenal diskriminasi di antara
mereka sebab pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya lebih merupakan
pengabdian kepada masyarakat sekaligus dalam rangka beribadah kepada Allâh SWT.
- Menjadikan pemimpin sebagai amanah
Dalam Islam, sesungguhnya pemimpin itu adalah
amanah dari Allâh SWT, sehingga tidak saja harus dipertanggungjawabkan di dunia
akan tetapi juga harus dipertanggungjawabkan di akhirat Banyak di antara kita
yang tidak menyadari, bahwa seorang pemimpin sejati seringkali tidak diketahui
keberadaannya oleh mereka yang dipimpin. Bahkan ketika misi dan tugas
terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang
melakukan sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager),
motivator, inspirator dan maximizer. Konsep pemikiran seperti ini
adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin
konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and
praise) dari mereka yang dipimpin. Semakin dipuji semakin tinggi hati dan
lupa dirilah seorang pemimpin itu. Justru pemimpin sejati mesti harus
menerapkan pola kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang sangat berhasil. Beliau berhasil merubah
masyarakat Arab yang awalnya berperilaku jahiliyah menjadi masyarakat
madani yang berperadaban tinggi dan mulia.[11] Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kepemimpinan Rasûlullâh sangat berhasil, diantaranya[12]:
- Sejak kecil beliau telah memiliki kepribadian yang mulia.
- Dalam hal memimpin selalu berpedoman pada aturan, dalam hal ini adalah wahyu Allâh.
- Dalam hal yang bersifat ijtihadiyah beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabat.
- Sebagai seorang pemimpin, beliau selalu bersama umatnya dan merasakan apa yang dirasakan oleh umatnya.
- Dalam memimpin, beliau tidak hanya membimbing dan mengarahkan dari balik meja, tetapi beliau terjun langsung ke lapangan.
- Beliau sangat konsisten dengan apa yang disampaikan.
- Beliau sangat baik hati, lemah lembut, sederhana, jujur, amanah dan bersahaja.
Hal terpenting saat mengingat Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam adalah menjadikannya sebagai suri teladan, mencintainya,
dan mengikutinya. Berkaitan dengan mengikuti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi
wa sallam ini ada 3 prinsip yang penting untuk diperhatikan :
Pertama, makna mengikuti Rasul adalah mengikuti
syariat yang dibawa oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Allâh
SWT berfirman: “Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, terimalah; Apa
saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada
Allâh. Sesungguhnya Allâh sangat keras hukuman-Nya” (QS. al-Hasyr [59]: 7).
“Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin maupun
bagi perempuan mukmin, jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Siapa saja yang mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah
sesat secara nyata” (Q.S. al-Ahzab [33]: 36).
Bahkan kesediaan mengikuti ketetapan dan
keputusan hukum Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam merupakan
cerminan dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa ketaatan pada syariat Islam
(QS. al-Nisa’ [4]: 65).
Kedua, syariat Islam diturunkan oleh Zat Yang Maha
Tahu tentang seluruh manusia dengan segala aspek kemanusiaannya. Perbedaan
suku, bangsa, bahasa, tempat, dan waktu hidup bukanlah pembatas ataupun
penghalang bagi penerapan syariat islam secara totalitas. Kewajiban penerapan
syariat Islam secara totalitas tetap dapat dilaksanakan sepanjang masa.
Karenanya mengikuti Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam merupakan
perkara yang tetap relevan sekalipun pada zaman modern sekarang ini. Kemajuan
sains dan teknologi bukanlah masalah dalam penerapan syariat Islam karena IPTEK
hanya mengubah sarana hidup, namun tidak mengubah metode hidup dan kehidupan.
Ketiga, mengikuti Rasûlullâh Saw adalah sesuai dengan
fitrah manusia. Karena Islam yang dibawanya sesuai dengan fitrah manusia.
Setiap ajaran Islam berupa aqidah, ibadah, mu’amalah, dalam bidang sosial,
politik, ekonomi, dan budaya pasti sesuai dengan fitrah manusia, sebab Islam
berasal dari Allâh SWT, lalu diperuntukkan bagi manusia yang juga diciptakan
oleh Allâh SWT. Bukan hanya itu, mengikuti Rasûlullâh adalah kebaikan,
perolehan kasih sayang, dan limpahan ampunan. Allâh SWT berfirman:
Katakanlah, ”Jika kalian (benar-benar)
mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintai kalian dan mengampuni
dosa-dosa kalian, Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali’Imran
[3]: 31).
Oleh karena itu dari ketiga prinsip tersebut
jelas Allâh SWT memerintahkan kita untuk meneladani Rasul dalam setiap aspek
kehidupan. Allâh SWT memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara kaffah.
Karenanya di bulan Rabi’ul Awwal ini tidak cukup hanya ingat akan
kelahiran Nabi Muhammad SAW saja, melainkan bagaimana kaum muslim secara
kolektif melahirkan umat Islam yang satu diikat oleh akidah yang satu, dihukumi
oleh aturan yang satu, dan dipimpin oleh pemimpin yang satu. Dan kita
senantiasa dituntut untuk menjadikan risalah Islam yang dibawa Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallam sebagai panduan hidup kita. Kita tidak boleh untuk
menjadikan selain Islam sebagai solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang
kita hadapi, sebab ini terkait dengan masalah keimanan. Keimanan kita diukur
dari keikhlasan kita untuk menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas setiap
masalah yang dihadapi.[13]
Maka sebagai bukti atas keimanan kita, sudah
sepatutnya kita sebagai umat Islam bergerak mewarnai kehidupan ini dengan warna
Islam serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah dengan solusi Islam dan
menjadikan Rasûlullâh sebagai proyek percontohan dalam setiap aspek kehidupan
sehingga peringatan maulid bukan hanya sekedar simbol yang senantiasa
diperingati, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengaplikasikan
perbuatan dan perkataan serta semangat perjuangan dalam kehidupan nyata umat
Islam termasuk dalam sistem pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar