Rabu, 23 Oktober 2013

AQIDAH ISLAMIYAH




MAKALAH STUDI ISLAM I






Disusun oleh : M. Abdulloh
NIM : 1201010004


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO


1.      Jelaskan pengertian etimologis maupun terminologis !
(jawaban)
Secara Etimologis, dalam bahasa Arab akidah berasal dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' Salaf as-Shalih.

2.      Sebut dan jelaskan istilah lain dariAqidah Islamiyah itu !
(jawaban)
a.        Al - Iman
'Aqidah disebut juga dengan al Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an dan hadits - hadits Nabi saw, karena 'aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal - hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al?Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits jibril as. Dan para ularna sering menyebut istilah 'Aqidah dengan al Iman dalarn kitab - kitab mereka.
b.       'Aqidah (Itiqaad dan 'Aqaa'id)
Para ularna juga sering menyebut ilmu 'Aqaa'id dan al'I'tiqaad. 
c.       Tauhid
'Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma' wa Shifat. jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu 'Aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid. 

d.      As Sunnah
Disebut As Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang diternpuh oleh Rasulullah dan para Sahabat ra, di dalam masalah 'aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama. 

e.       Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun - rukun Iman, rukun - rukun Islam dan masalah - masalah yang qath'i serta hal - hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama. 

f.       Al Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al Fiqhul Ashghar, yaltu kumpulan hukum -hukum ijtihadi. 

g.      Asy Syari'ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah saw, dan RasulNya berupa jalan - jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (dasar - dasar agama). 
3.      Apa sumber dari Aqidah Islamiyah itu?Sebut dan Jelaskan !
(jawab)
a)      Al-Qur an Sebagai Sumber Aqidah
Al-Qur an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al-Qur an, sebagaimana dalam firman-Nya :
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al An’am:115)
b)      As Sunnah: Sumber Kedua
Seperti halnya Al-Qur an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah
 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (Q.S. An-Najm: 3-4)
Allah berfirman :
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. Al-Jumu’ah: 2)
c)      Ijma’ Para Ulama
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu.
Ijma’ adalah sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad SAW setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang
sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma’, Allah SWT berfirman :
 “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S An Nisaa:115)
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul.
Di dalam pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah aqidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al-Qur an dan Sunnah yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzoni sehingga menjadi qotha’i.
d)     Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[6], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
e)      Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri.
Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya.
Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.
4.      Dalam meyakini Islam sebagai Agama kita, apa fungsi Aqidah itu?
(jawab)
Aqidah memiliki beberapa fungsi antara lain:
a. Sebagai pondasi untuk mendirikan bangunan Islam.
b. Merupakan awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki aqidahyang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik.
c. Semua ibadah yang kita laksanakan jika tanpa ada landasan aqidah maka ibadah kita tersebut tidak akan diterima.
d.Mempertebal keimanan kepada Alloh SWT.
5.      Apa yang dimaksud dengan Nubuwat? Jelaskan!
(jawaban)
Secata etimologis, kata nubuwah berasal dari kata “naba-a” yang berarti kabar warta (news), berita (tidings), dan cerita (story).[2] Kata “nubuwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”. Dan kata ”nubuwah” disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 5 kali di beberapa surat.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yg menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.
Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman primitif.
Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80.
Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).
Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah penyembahan kepada Allah saja.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pendapat yang mengemukakan mengenai pengertian nubuwah (kenabian) itu sendiri, di antaranya yaitu:
·         Dalam hal kenabian ini, Al-Afghani memberikan suatu perumpamaan, bahwa masyarakat adalah badan, di mana anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, maka demikian pula masyarakat. Roh masyarakat adalah kenabian atau hikmah (filsafat). Jadi Nabi dan filosof (al-Hakim) bagi masyarakat sama kedudukannya dengan roh bagi badan.
·         Menurut para ulama Ahlus-Sunnah, kenabian adalah pangkat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya tanpa diusahakan dan dengan jalan memberikan wahyu kepadanya.Namun mengenai kenabian sebagai ”sesuatu yang datang tanpa diusahakan”, hal ini mengundang pertentangan dari para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian itu dapat diusahakan karena kenabian itu merupakan hasil dari keheningan jiwa dan hasil dari keutamaan budi pekerti. Selain itu, para ahli filsafat juga berpendapat bahwa kenabian itu dapat diperoleh oleh manusia dengan usaha bersungguh-sungguh dan karena sebab-sebab tertentu. Jadi menurut mereka, kenabian itu bukan semata-mata anugerah dari Allah tetapi manusia juga berusaha untuk mendapatkannya .
·         Menurut Ibnu Sina, ada dua kubu yang berbeda dalam mengartikan kenabian. Kelompok yang pertama yaitu kaum ortodoks yang diwakili oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, kenabian adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Kelompok ini juga menyatakan bahwa ajaran kenabian merupakan ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya karena berasal dari wahyu Tuhan. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu kaum heterodoks yang diwakili oleh para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini.  Kelompok ini menyatakan bahwa ajaran kenabian adalah ajaran manusia yang biasa saja, punya nilai kebenaran tetapi juga memiliki kekurangan karena sumber kenabian bukan hanya berasal dari atas (Tuhan), tetapi juga berasal dari bawah (manusia atau masyarakat).
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa nubuwah (kenabian) adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan kamil (memiliki akal teoritis dan praktis) dengan cara memberikan wahyu kepadanya. Seperti yang telah diungkapkan dalam Al-Quran;
”Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kitab, hikmah dan kenabian…” (Al-An’am: 88-89).
Kenabian adalah derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia dari Tuhan. Kenabian membuktikan superioritas dari aspek batin seseorang atas orang lainnya. Seorang nabi seperti cabang yang menjulur dari Illahi ke dunia manusia. Dia memiliki intelek tertinggi yang menembus ke dalam realitas dari segala benda dan peristiwa. Lebih jauh lagi, ia adalah makhluk yang ideal, sangat mulia dan aktif.Orang-orang biasa tidak dapat memperoleh pengetahuan nabi. Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa gelar kenabian hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan kepada sembarang orang.
Kenabian Ditinjau dari Segi Sosiologis
Nabi diangkat dan dikirim untuk suatu umat yang ada di berbagai daerah yang berbeda serta pada masa-masa yang berbeda pula. Dan kenabian merupakan suatu fenomena universal, sebab tidak ada satu bagian bumi pun yang tidak pernah menyaksikan kehadiran seorang Nabi Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran:
”Dan tak ada suatu ummat pun kecuali dulu telah ada padanya seorang pemberi peringatan”. (Al-Fathir : 24).
Seorang Nabi diutus ke dunia ini dengan memiliki tugas dan fungsi tertentu. Menurut Ibnu Sina, seorang nabi memiliki fungsi fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab:21).
Selain itu Nabi hadir di tengah-tengah masyarakat berfungsi  untuk menjadi saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana telah diungkapkan dalam Al-Quran:
“Wahai nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Al-Ahzab: 45). 
Di dalam tafsir Al-Azhar dijelaskan bahwa Nabi menjadi saksi bagi ummatnya di dalam hal mereka menggunakan akal pikiran untuk mencari siapa Tuhannya. Dan kelak para Nabi juga menjadi saksi ketika manusia dihadapkan ke mahkamah Tuhan apabila mereka ditanya tentang amalan mereka, baik atau buruk. Sedangkan di dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa para Nabi ditugaskan untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin tentang pahala dan balasan yang akan mereka terima, serta memberi peringatan kepada orang-orang kafir tentang adzab Allah.
Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80.
Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah.
Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah penyembahan kepada Allah saja.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Misi dan Tujuan Nubuwah (Kenabian)
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, nilai-nilai ilahiah seringkali mengalami pergeseran. Akibat terjadinya pergeseran nilai, peradaban manusia terancam oleh berbagai krisis. Itulah sebabnya para nabi diutus secara berulang-ulang. Para nabi yang diutus oleh Allah memiliki misi tertentu dan misi yang dibawa oleh para nabi adalah sama dan satu sama lain saling menguatkan. Pada dasarnya misi yang dibawa oleh para Nabi mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.[14] Dimensi yang pertama berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ketauhidan atau monotheisme, serta mengajak manusia kepada jalan Allah, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat Az- Zukhruf:  ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah. Kecuali kamu menyembah Allah yang menciptakanku, karena sungguh Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali kepada kalimat tauhid itu”. (Az-Zukhruf: 26-28).
Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan mu’amalah antar sesama makhluk termasuk manusia (mu’amalah bi husnil khuluq) yaitu pertama: peran nabi adalah sebagai seorang konseling, yakni mengajak manusia untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Kedua: Nabi berperan sebagai seorang muadib, misi ini terkait untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari dan Abu Daud). Ketiga, sebagai seorang revolusioner, yaitu  berjuang membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa. Misi suci ini merupakan perjuangan para Nabi yang terpenting karena hampir semua Nabi berjuang melakukan pembebasan masyarakat dari ketertindasan menuju pencerahan. Nabi Ibrahim melakukan perjuangan revolusioner dalam membebaskan masyarakat dari bentuk paganisme raja Namrud, Nabi Musa melakukan perjuangan Revolusi dalam membebaskan bani Israil dari hegemoni tiran yang diktator Fir’aun, Nabi Isa melakukan gerakan Revolusi spiritual atas hegemoni materialisme masyarakat Romawi dan Nabi Muhammad melakukan gerakan revolusi  moral atas kejahilan masyarakat Quraisy.
Nabi juga memiliki misi untuk mengajarkan realitas, tujuan sesungguhnya dan makna dari kehidupan ini.Karena Tuhan di luar persepsi dan pemahaman kita, nabi harus merupakan orang yang paling patuh, hati-hati dan disiplin saat menjalankan tugasnya. Segala sesuatu di dalam alam ini berusaha untuk menunjukkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Dengan cara yang sama, nabi menunjukkan, membenarkan, dan beriman kepada hubungan misterius yang lembut antara Tuhan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ketika kita berada di tempat asing, kita membutuhkan pemandu. Analogi ini berlaku untuk peran nabi, Allah mengutus para nabi untuk memberi informasi kepada kita tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah serta memandu kita menuju jalan yang benar.





DAFTAR PUSTAKA
(2)   Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas
(3)   Kitab Buhuuts fii 'Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin 'Abdul Karim al-'Aql, 'Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah fil 'Aqiidah oleh Dr. Nashir bin 'Abdul Karim al-'Aql
(4)   Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
(5)   Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas 15 Desember 2008 10:12 Administrator Aqidah - Sekilas Tentang Aqidah
(8)   http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/07/30/aqidah-islamiyah/
(12)  http://almakmun.blogspot.com/2008/07/filsafat-kenabian.html/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar