MAKALAH
STUDI ISLAM I
Disusun
oleh : M. Abdulloh
NIM
: 1201010004
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
1. Jelaskan
pengertian etimologis maupun terminologis !
(jawaban)
Secara Etimologis, dalam bahasa Arab akidah berasal
dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu
(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu
(اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu
biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'akidah adalah iman
yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang
meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah
adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala
pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2]
dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya,
Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih,
serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara
amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih
serta ijma' Salaf as-Shalih.
2. Sebut
dan jelaskan istilah lain dariAqidah Islamiyah itu !
(jawaban)
a. Al - Iman
'Aqidah disebut juga dengan al Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al
Qur'an dan hadits - hadits Nabi saw, karena 'aqidah membahas rukun iman yang
enam dan hal - hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al?Iman
dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits jibril as. Dan para
ularna sering menyebut istilah 'Aqidah dengan al Iman dalarn kitab - kitab
mereka.
b.
'Aqidah (Itiqaad dan 'Aqaa'id)
Para ularna juga sering menyebut ilmu 'Aqaa'id dan al'I'tiqaad.
c.
Tauhid
'Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar
Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma' wa
Shifat. jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu 'Aqidah yang paling mulia dan
merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu
Tauhid.
d.
As Sunnah
Disebut As Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang diternpuh
oleh Rasulullah dan para Sahabat ra, di dalam masalah 'aqidah. Dan istilah ini
merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.
e.
Ushuluddin dan
Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun - rukun Iman, rukun - rukun Islam dan masalah -
masalah yang qath'i serta hal - hal yang telah menjadi kesepakatan para
ulama.
f.
Al Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al Fiqhul Ashghar,
yaltu kumpulan hukum -hukum ijtihadi.
g.
Asy Syari'ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah saw, dan
RasulNya berupa jalan - jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah
Ushuluddin (dasar - dasar agama).
3. Apa
sumber dari Aqidah Islamiyah itu?Sebut dan Jelaskan !
(jawab)
a) Al-Qur
an Sebagai Sumber Aqidah
Al-Qur an
adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW melalui perantara
Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan
oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan
petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang
beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak
akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al-Qur an, sebagaimana dalam
firman-Nya :
“Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.
tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al An’am:115)
b) As
Sunnah: Sumber Kedua
Seperti
halnya Al-Qur an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah
subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang
dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (Q.S.
An-Najm: 3-4)
Allah
berfirman :
“Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. Al-Jumu’ah: 2)
c) Ijma’
Para Ulama
Ijma’ dalam
pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap
sesuatu.
Ijma’
adalah sumber aqidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad
SAW setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang
yang
sekedar
tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan
dengan Ijma’, Allah SWT berfirman :
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (Q.S An Nisaa:115)
Imam
Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya
ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang
berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang
wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan
larangan menyelisihi Rasul.
Di dalam
pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh
ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah aqidah harus bersandarkan kepada dalil dari
Al-Qur an dan Sunnah yang shahih karena perkara aqidah adalah perkara
tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi
ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzoni sehingga menjadi qotha’i.
d) Qiyas
Qiyas
menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al
Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu
penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip
persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya
hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu
hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[6], adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Haramnya
meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman
yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman
tersebut adalah haram.
e) Akal
Sehat Manusia
Selain
ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam
Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta
memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal
juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak
terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan
sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqoh) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri.
Di dalam
jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan
pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti
mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia
tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia
akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi
akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata
yang memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib
yang tidak dapat tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk
sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak
dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik
dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan
kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah
satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena
tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang
berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap
manusia harus meyakininya.
Mengenai
hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al Qur’an,
As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang
bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan
dalam Qur’an, Sunnah dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin
sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang
batil.
4.
Dalam meyakini Islam sebagai Agama kita, apa fungsi
Aqidah itu?
(jawab)
Aqidah memiliki beberapa fungsi antara lain:
a. Sebagai pondasi untuk mendirikan bangunan Islam.
b. Merupakan awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki aqidahyang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik.
c. Semua ibadah yang kita laksanakan jika tanpa ada landasan aqidah maka ibadah kita tersebut tidak akan diterima.
d.Mempertebal keimanan kepada Alloh SWT.
(jawab)
Aqidah memiliki beberapa fungsi antara lain:
a. Sebagai pondasi untuk mendirikan bangunan Islam.
b. Merupakan awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki aqidahyang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik.
c. Semua ibadah yang kita laksanakan jika tanpa ada landasan aqidah maka ibadah kita tersebut tidak akan diterima.
d.Mempertebal keimanan kepada Alloh SWT.
5.
Apa yang dimaksud dengan Nubuwat? Jelaskan!
(jawaban)
Secata etimologis, kata nubuwah berasal
dari kata “naba-a” yang berarti kabar warta (news), berita (tidings), dan
cerita (story).[2] Kata “nubuwah”
sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”. Dan kata ”nubuwah” disebutkan dalam
Al-Quran sebanyak 5 kali di beberapa surat.
Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yg menjadi pilihan
Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang
berkenaan dengan nabi.
Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian
(nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner.
Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah
zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan
keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan
Rasul sama dengan zaman primitif.
Dikatakan
primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada
yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan
monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan
Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.
Jika kita
melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa
sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola
keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai
contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni
kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan
lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah
kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan,
dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini,
penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh
al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80.
Selain itu,
pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi
dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan
benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi
pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang
tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka
anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di
Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).
Secara
umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini
kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan
ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim.
Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para
Ahnaf adalah penyembahan
kepada Allah saja.
Seperti
yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa
transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa
transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa
tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif
berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau
akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa
transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini
kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena
manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal
mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang
seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan secara terminologis, ada
beberapa pendapat yang mengemukakan mengenai pengertian nubuwah (kenabian) itu
sendiri, di antaranya yaitu:
·
Dalam
hal kenabian ini, Al-Afghani memberikan suatu perumpamaan, bahwa masyarakat
adalah badan, di mana anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa
hidup tanpa roh, maka demikian pula masyarakat. Roh masyarakat adalah kenabian atau hikmah (filsafat). Jadi Nabi dan filosof (al-Hakim) bagi masyarakat sama
kedudukannya dengan roh bagi badan.
·
Menurut para ulama Ahlus-Sunnah, kenabian adalah
pangkat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya tanpa
diusahakan dan dengan jalan memberikan wahyu kepadanya.Namun mengenai kenabian
sebagai ”sesuatu yang datang tanpa diusahakan”, hal ini mengundang pertentangan
dari para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian itu dapat diusahakan
karena kenabian itu merupakan hasil dari keheningan jiwa dan hasil dari
keutamaan budi pekerti. Selain itu, para ahli filsafat juga berpendapat bahwa
kenabian itu dapat diperoleh oleh manusia dengan usaha bersungguh-sungguh dan
karena sebab-sebab tertentu. Jadi menurut mereka, kenabian itu bukan
semata-mata anugerah dari Allah tetapi manusia juga berusaha untuk
mendapatkannya .
·
Menurut Ibnu Sina, ada dua kubu yang berbeda
dalam mengartikan kenabian. Kelompok yang pertama yaitu kaum ortodoks yang
diwakili oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, kenabian adalah
sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, gelar kenabian bisa
diberikan kepada siapa saja. Kelompok ini juga menyatakan bahwa ajaran kenabian
merupakan ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya karena berasal dari wahyu
Tuhan. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu kaum heterodoks yang diwakili oleh
para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian merupakan sebuah
keniscayaan dalam kehidupan ini. Kelompok ini menyatakan bahwa ajaran
kenabian adalah ajaran manusia yang biasa saja, punya nilai kebenaran tetapi juga
memiliki kekurangan karena sumber kenabian bukan hanya berasal dari atas
(Tuhan), tetapi juga berasal dari bawah (manusia atau masyarakat).
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa nubuwah
(kenabian) adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan
kamil (memiliki akal teoritis dan praktis) dengan cara memberikan wahyu
kepadanya. Seperti yang telah
diungkapkan dalam Al-Quran;
”Itulah
petunjuk Allah, dengan itu Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja di antara
hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah,
pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang
yang telah kami berikan kitab, hikmah dan kenabian…” (Al-An’am: 88-89).
Kenabian adalah derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia
dari Tuhan. Kenabian membuktikan superioritas dari aspek batin seseorang atas
orang lainnya. Seorang nabi seperti cabang yang menjulur dari Illahi ke dunia
manusia. Dia memiliki intelek tertinggi yang menembus ke dalam realitas dari
segala benda dan peristiwa. Lebih jauh lagi, ia adalah makhluk yang ideal,
sangat mulia dan aktif.Orang-orang biasa tidak dapat memperoleh pengetahuan
nabi. Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa gelar kenabian hanya
diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan kepada sembarang orang.
Kenabian Ditinjau dari Segi Sosiologis
Nabi diangkat dan dikirim untuk suatu umat yang ada di berbagai daerah
yang berbeda serta pada masa-masa yang berbeda pula. Dan kenabian merupakan
suatu fenomena universal, sebab tidak ada satu bagian bumi pun yang tidak
pernah menyaksikan kehadiran seorang Nabi Allah SWT telah berfirman dalam
Al-Quran:
”Dan tak ada suatu ummat pun kecuali dulu telah ada padanya seorang
pemberi peringatan”. (Al-Fathir : 24).
Seorang Nabi diutus ke dunia ini dengan memiliki tugas dan fungsi
tertentu. Menurut Ibnu Sina, seorang nabi memiliki fungsi fungsi politik, dalam
arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan
teladan kepada mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Quran:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab:21).
Selain itu Nabi hadir di tengah-tengah masyarakat berfungsi untuk
menjadi saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana telah
diungkapkan dalam Al-Quran:
“Wahai nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Al-Ahzab: 45).
Di dalam tafsir Al-Azhar dijelaskan bahwa Nabi menjadi saksi bagi
ummatnya di dalam hal mereka menggunakan akal pikiran untuk mencari siapa
Tuhannya. Dan kelak para Nabi juga menjadi saksi ketika manusia dihadapkan ke
mahkamah Tuhan apabila mereka ditanya tentang amalan mereka, baik atau buruk.
Sedangkan di dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa para Nabi ditugaskan
untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin tentang pahala dan
balasan yang akan mereka terima, serta memberi peringatan kepada orang-orang
kafir tentang adzab Allah.
Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan
transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke
dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang.
Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan
keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat
dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman
primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih
menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari
mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan
Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau
ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti
bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada
pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam
ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa
Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala,
kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno,
adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang,
bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim
ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan
oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80.
Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya)
masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena
alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang
terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih
memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus).
Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti
ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham
Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah.
Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru.
Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam
penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim.
Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para
Ahnaf adalah penyembahan
kepada Allah saja.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan
dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari
masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah
masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif
berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau
akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa
transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini
kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena
manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal
mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang
seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Misi dan Tujuan Nubuwah (Kenabian)
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, nilai-nilai ilahiah seringkali
mengalami pergeseran. Akibat terjadinya pergeseran nilai, peradaban manusia
terancam oleh berbagai krisis. Itulah sebabnya para nabi diutus secara
berulang-ulang. Para nabi yang diutus oleh Allah memiliki misi tertentu dan
misi yang dibawa oleh para nabi adalah sama dan satu sama lain saling
menguatkan. Pada dasarnya misi yang dibawa oleh para Nabi mempunyai dua
dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.[14] Dimensi yang pertama berkaitan dengan
bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ketauhidan atau
monotheisme, serta mengajak manusia kepada jalan Allah, mengenal-Nya dan
mendekatkan diri kepada-Nya, seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat
Az- Zukhruf: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan
kaumnya, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah. Kecuali
kamu menyembah Allah yang menciptakanku, karena sungguh Dia akan memberi
petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal
pada keturunannya agar mereka kembali kepada kalimat tauhid itu”.
(Az-Zukhruf: 26-28).
Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan
mu’amalah antar sesama makhluk termasuk manusia (mu’amalah bi husnil khuluq)
yaitu pertama: peran nabi adalah sebagai seorang konseling, yakni
mengajak manusia untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Kedua:
Nabi berperan sebagai seorang muadib, misi ini terkait untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari dan Abu
Daud). Ketiga, sebagai seorang revolusioner, yaitu berjuang
membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi yang
dilakukan oleh para penguasa. Misi suci ini merupakan perjuangan para Nabi yang
terpenting karena hampir semua Nabi berjuang melakukan pembebasan masyarakat
dari ketertindasan menuju pencerahan. Nabi Ibrahim melakukan perjuangan
revolusioner dalam membebaskan masyarakat dari bentuk paganisme raja Namrud,
Nabi Musa melakukan perjuangan Revolusi dalam membebaskan bani Israil dari
hegemoni tiran yang diktator Fir’aun, Nabi Isa melakukan gerakan Revolusi
spiritual atas hegemoni materialisme masyarakat Romawi dan Nabi Muhammad
melakukan gerakan revolusi moral atas kejahilan masyarakat Quraisy.
Nabi juga memiliki misi untuk mengajarkan realitas, tujuan sesungguhnya
dan makna dari kehidupan ini.Karena Tuhan di luar persepsi dan pemahaman kita,
nabi harus merupakan orang yang paling patuh, hati-hati dan disiplin saat
menjalankan tugasnya. Segala sesuatu di dalam alam ini berusaha untuk
menunjukkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Dengan cara yang sama, nabi
menunjukkan, membenarkan, dan beriman kepada hubungan misterius yang lembut
antara Tuhan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ketika kita berada di tempat
asing, kita membutuhkan pemandu. Analogi ini berlaku untuk peran nabi, Allah
mengutus para nabi untuk memberi informasi kepada kita tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allah serta memandu kita menuju jalan yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
(1)
http://id.wikipedia.org/wiki/Aqidah Artikel-artikel seputar
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, 11.59, 26 September 2013
(2)
Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas
(3)
Kitab Buhuuts fii 'Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 11-12) oleh Dr.
Nashir bin 'Abdul Karim al-'Aql, 'Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal.
13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah
wal Jamaa'ah fil 'Aqiidah oleh Dr. Nashir bin 'Abdul Karim al-'Aql
(4)
Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir
Jawas.
(5)
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Yazid bin Abdul Qadir
Jawas 15 Desember 2008 10:12 Administrator Aqidah -
Sekilas Tentang Aqidah
(8)
http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/07/30/aqidah-islamiyah/
(12)
http://almakmun.blogspot.com/2008/07/filsafat-kenabian.html/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar